Karena ijazah bukanlah faktor utama dalam persaingan di dunia kerja

JURNAL HIMAKOM Rektor berserta jajaran melihat pameran karya Prodi Ilmu Komunikasi dibawah naungan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Institut Bisnis dan Informatika KOSGORO 1957 (IBI-K57), pada Hari Jumat, 11 Mei 2018,   mengadakan peresmian Radio IBI-K57 serta syukuran akan Prodi Ilmu Komunikasi IBI-K57 mendapatkan Akreditasi B. Acara yang dihadiri oleh Rektor IBI-K57 berserta para tamu undangan kurang lebih 50 orang termasuk staf kampus, Dosen dan Mahasiswa, berlangsung pada pukul 14.00 WIB. Welcome Dance Rektor serta para tamu undangan yang menghadiri kegiatan tersebut, disambut dengan pameran karya Visual dari mahasiswa Ilmu Komunikasi serta tarian yang dipersembahkan oleh Siti Nur Azizah sebagai simbol selamat datang. Ibu Enny widayati selaku dekan FISIP IBI-K57 dalam Sambutannya Mengatakan, aspek penting dalam menunjang perkembangan mahasiswa dibidang akademis yaitu dengan menyediakan fasilitas yang menunjang pengembangan keilmuan yang digelut

Lulusan Ilmu Komunikasi Mau dibawa Kemana

JURNAL HIMAKOM

Oleh : Muhammad Sufyan (Dosen Digital Public Relations Telkom University)


Bagaimana melihat kondisi umpama jamur di musim hujan, ketika nyaris seluruh perguruan tinggi di Indonesia mutakhir menghadirkan fakultas/program studi/jurusan ilmu komunikasi? Apakah ini surplus, ataukah defisit, dengan kebutuhan riil di lapangan?

Jika memang defisit, kenapa faktanya para ahli komunikasi publik kampiun, sebut di televisi nasional tak selalu jurusan ilmu komunikasi --sebut saja Tina Talisa yang berlatar pendidikan dokter gigi, atau Pemred Kompas TV Rosiana Silalahi yang alumni Sastra Jepang.

Sebelum menjawab prolog pertanyaan tersebut, ada dua baseline yang harus difahami bersama. Pertama, ilmu komunikasi pada dasarnya adalah derivatif dari fakultas ilmu sosial politik di berbagai perguruan tinggi negeri terkemuka di negeri ini.
Secara historis, fakultas ilmu sosial dan ilmu politik --dengan mother of skills-nya ilmu hukum-- adalah bidang ilmu yang sudah eksis sejak zaman Belanda. Bahkan, banyak perguruan tinggi di Indonesia yang dibuka dengan seputaran ilmu sosial tersebut.

Karenanya, sebagai sebuah ilmu turunan, ilmu komunikasi menjadi sebuah cabang ilmu relatif baru, dalam proses in making, serta masih butuh dayungan ilmu atas aras zaman agar menjadi salah satu cabang ilmu yang mapan dan kontributif.

Kedua, ilmu komunikasi adalah bidang ilmu inklusif; Siapapun bisa menjadi pelaku profesinya sekalipun berasal dari jurusan tak berkaitan. Hal yang membedakan misalnya dengan profesi pengacara, jaksa, dan hakim yang hanya bisa oleh lulusan sarjana hukum.

Saking cairnya bidang ini, muncul sebutan IPB sebagai Institut Publisistik/Penyiaran Bogor karena banyaknya lulusan kampus agribisnis tersebut kemudian berprofesi sebaga
i praktisi komunikasi massa handal dan berpengalaman.

Secara praktis, terutama di bidang profesi media massa, kondisi ini wajar saja jika mengingat rubrikasi di media massa sangat beragam. Dari mulai ekonomi, politik, hukum, sosial budaya, hingga olahraga, yang kemudian menjadi relevan bagi latar ilmu yang majemuk.
Nah, ini tambah menarik, ketika ada proses sertifikasi terkait, semisal uji kompetensi wartawan (UKW), Dewan Pers pun tidak melihat latar pendidikan peserta. Selama diizinkan kantor dan lulus materi UKW terkait kewartawanan, peserta dari disiplin ilmu apapun bisa meraihnya.

Dengan dua titik pijak tersebut, maka dengan sendirinya, lulusan ilmu komunikasi akan masuk bursa kerja maha ketat. Mereka tak bersaing hanya dengan sesama jurusannya, mereka tiada kena sortir pelamar yang ketat dan ekslusif sedari awal.  

Maka itu, mengacu pengalaman penulis, tak jarang kemudian lowongan ilmu komunikasi pun "direbut" yang bukan alumni linear. Sering pula terjadi, alumnus ilmu komunikasi yang tak punya keahlian spesifik, dengan mudah dilibas lulusan non komunikasi yang otodidak namun gaul dengan keahlian komunikasinya.

Lalu, jika merujuk kebutuhan riil di lapangan, variabel yang bisa digunakan sebetulnya banyak. Tapi kita lakukan pendekatan paling sederhana dulu, semisal kebutuhan lulusan ilmu komunikasi di Jawa Barat dengan merujuk tingkat keterbacaan koran.

Sebagai media konvensional senior di provinsi ini, dalam catatan penulis, total oplah seluruh koran sekitar 450.000 s.d 500.000 koran/hari. 

Jika diasumsikan satu koran dibaca tiga orang, maka tirasnya mencapai 1,5 juta-an.

Jumlah penduduk Jawa Barat sendiri akhir tahun 2016 mencapai 47 juta, dengan usia produktif sekitar 65% diantaranya (30 juta), sehingga penetrasi keterbacaan adalah masing-masing mencapai 3,191% dari total penduduk serta 5% dari usia produktif.

Artinya, tingkat utilitas sekaligus peluang pasarnya relatif sangat kecil. Ditambah budaya baru membaca media massa ke arah media baru/new media, maka terjadi posisi begini: Alumni ikom bersaing sangat ketat untuk pasar (konvensional) yang cenderung terbatas!

Skills yang Dibutuhkan

Sekali lagi, jika merujuk variabel media konvensional, peluang tak demikian besar. Namun pantang surut apalagi jatuh mental, karena sesungguhnya bukan kebutuhan lulusan komunikasinya yang sempit, namun arah skills yang harus lebih ditajamkan.

Pada hari ini, ketika new media kian tumbuh eksponensial bergerak melampaui utilitas dan peluang pasar media konvensional, maka dibutuhkan kompetensi unik, spesifik, dan menarik yang harus dimiliki lulusan ilmu komunikasi dalam arungi medan ketat.

Kompetensi tersebut, selain merujuk pada keahlian dasar ilmu komunikasi (penulis menyebutnya kemampuan menulis, public speaking, multimedia, dan event management), juga harus seiring dan sejalan dengan kebutuhan dari new media.

Atau dalam istilah lain yang dipopulerkan Indra Utoyo dalam buku Silicon Valley Mindset (Gramedia Pustaka Utama, 2016), haruslah beriringan dengan peradaban ekonomi konseptual yang menekankan high think, high tech, namun high touch.     

Setelah era manufaktur digantikan era informasi, kini adalah saatnya era yang tak selalu bertumpu pada irisan antara padat modal dan padat kerja. Inilah era yang penuh usungan akan nilai-nilai ide, konsep, kreativitas, dan inovasi.

Selamat datang di era ekonomi kreatif (ekraf), wahai lulusan ilmu komunikasi! Sebuah zaman dimana peluang terlihat sempit pada bidang aplikasi ilmu konvensional, namun sangat terbuka lebar dengan aneka peluang ilmu komunikasi penyokong ekonomi kreatif.

Inilah waktu tepat dan akurat jika para alumni komunikasi tak selalu harus bekerja pada profesi yang itu-itu saja: Jurnalis/humas/iklan/manajemen komunikasi.

Namun, di sisi lain, ada ratusan hingga ribuan startup se-Indonesia yang memerlukan sentuhan skills spesifik lulusan komunikasi. Dengan rerata pendiri berlatar teknik informatika, mereka perlu mitra yang faham berkomunikasi ke publik.

Tak hanya itu. Merujuk data Badan Ekonomi Kreatif Kota Bandung Agustus 2016 contohnya, peluang juga terbuka lebar selain usaha rintisan digital tadi, juga pada bidang ekraf dengan serapan terbesar yakni fashion sebesar 52,78%, kerajinan (16,76%), kuliner (16,16%), desain (3,1%), dan seterusnya

Dengan barometer ekraf ini berasal dari Barat, terutama Silicon Valley, Amerika Serikat, maka lulusan komunikasi yang ingin kompetitif ini harus pula dilengkapi kemampuan orientasi global dengan diawali kemampuan bahasa Inggris yang baik.

Paling aktual kita bisa lihat merger agensi iklan dan humas terbesar tanah air, Dwi Sapta Group, dengan agensi global asal Inggris, Dentsu Aegis Network pada pekan ini, yang memang ditujukan dalam meluaskan pasar Dwi Sapta ke 145 negara yang sudah dikuasi Dentsu.

Karena itu, sebagai konklusi, ilmu komunikasi malah makin aktual dan diperlukan --sekalipun bidang ilmunya inklusif dan dalam proses in making-- terutama untuk ranah implementasi ilmu berbasis new media dan ekonomi kreatif. Maju terus Ilmu Komunikasi Indonesia!

Comments