JURNAL HIMAKOM
Oleh : Muhammad Sufyan (Dosen Digital Public Relations
Telkom University)
Bagaimana melihat kondisi umpama jamur di musim hujan,
ketika nyaris seluruh perguruan tinggi di Indonesia mutakhir menghadirkan
fakultas/program studi/jurusan ilmu komunikasi? Apakah ini surplus, ataukah
defisit, dengan kebutuhan riil di lapangan?
Jika memang defisit, kenapa
faktanya para ahli komunikasi publik kampiun, sebut di televisi nasional tak
selalu jurusan ilmu komunikasi --sebut saja Tina Talisa yang berlatar
pendidikan dokter gigi, atau Pemred Kompas TV Rosiana Silalahi yang alumni
Sastra Jepang.
Sebelum menjawab prolog
pertanyaan tersebut, ada dua baseline yang harus difahami bersama. Pertama,
ilmu komunikasi pada dasarnya adalah derivatif dari fakultas ilmu sosial
politik di berbagai perguruan tinggi negeri terkemuka di negeri ini.
Secara historis, fakultas ilmu
sosial dan ilmu politik --dengan mother of skills-nya ilmu hukum-- adalah
bidang ilmu yang sudah eksis sejak zaman Belanda. Bahkan, banyak perguruan
tinggi di Indonesia yang dibuka dengan seputaran ilmu sosial tersebut.
Karenanya, sebagai sebuah ilmu
turunan, ilmu komunikasi menjadi sebuah cabang ilmu relatif baru, dalam proses
in making, serta masih butuh dayungan ilmu atas aras zaman agar menjadi salah
satu cabang ilmu yang mapan dan kontributif.
Kedua, ilmu komunikasi adalah
bidang ilmu inklusif; Siapapun bisa menjadi pelaku profesinya sekalipun berasal
dari jurusan tak berkaitan. Hal yang membedakan misalnya dengan profesi
pengacara, jaksa, dan hakim yang hanya bisa oleh lulusan sarjana hukum.
Saking cairnya bidang ini,
muncul sebutan IPB sebagai Institut Publisistik/Penyiaran Bogor karena banyaknya
lulusan kampus agribisnis tersebut kemudian berprofesi sebaga
i praktisi
komunikasi massa handal dan berpengalaman.
Secara praktis, terutama di
bidang profesi media massa, kondisi ini wajar saja jika mengingat rubrikasi di
media massa sangat beragam. Dari mulai ekonomi, politik, hukum, sosial budaya,
hingga olahraga, yang kemudian menjadi relevan bagi latar ilmu yang majemuk.
Nah, ini tambah menarik,
ketika ada proses sertifikasi terkait, semisal uji kompetensi wartawan (UKW),
Dewan Pers pun tidak melihat latar pendidikan peserta. Selama diizinkan kantor
dan lulus materi UKW terkait kewartawanan, peserta dari disiplin ilmu apapun
bisa meraihnya.
Dengan dua titik pijak
tersebut, maka dengan sendirinya, lulusan ilmu komunikasi akan masuk bursa
kerja maha ketat. Mereka tak bersaing hanya dengan sesama jurusannya, mereka
tiada kena sortir pelamar yang ketat dan ekslusif sedari awal.
Maka itu, mengacu pengalaman
penulis, tak jarang kemudian lowongan ilmu komunikasi pun "direbut"
yang bukan alumni linear. Sering pula terjadi, alumnus ilmu komunikasi yang tak
punya keahlian spesifik, dengan mudah dilibas lulusan non komunikasi yang
otodidak namun gaul dengan keahlian komunikasinya.
Lalu, jika merujuk kebutuhan
riil di lapangan, variabel yang bisa digunakan sebetulnya banyak. Tapi kita
lakukan pendekatan paling sederhana dulu, semisal kebutuhan lulusan ilmu
komunikasi di Jawa Barat dengan merujuk tingkat keterbacaan koran.
Sebagai media konvensional senior di provinsi ini,
dalam catatan penulis, total oplah seluruh koran sekitar 450.000 s.d 500.000
koran/hari.
Jika diasumsikan satu koran
dibaca tiga orang, maka tirasnya mencapai 1,5 juta-an.
Jumlah penduduk Jawa Barat
sendiri akhir tahun 2016 mencapai 47 juta, dengan usia produktif sekitar 65%
diantaranya (30 juta), sehingga penetrasi keterbacaan adalah masing-masing
mencapai 3,191% dari total penduduk serta 5% dari usia produktif.
Artinya, tingkat utilitas
sekaligus peluang pasarnya relatif sangat kecil. Ditambah budaya baru membaca
media massa ke arah media baru/new media, maka terjadi posisi begini: Alumni
ikom bersaing sangat ketat untuk pasar (konvensional) yang cenderung terbatas!
Skills yang Dibutuhkan
Sekali lagi, jika
merujuk variabel media konvensional, peluang tak demikian besar. Namun pantang
surut apalagi jatuh mental, karena sesungguhnya bukan kebutuhan lulusan
komunikasinya yang sempit, namun arah skills yang harus lebih ditajamkan.
Pada hari ini, ketika new
media kian tumbuh eksponensial bergerak melampaui utilitas dan peluang pasar
media konvensional, maka dibutuhkan kompetensi unik, spesifik, dan menarik yang
harus dimiliki lulusan ilmu komunikasi dalam arungi medan ketat.
Kompetensi tersebut, selain
merujuk pada keahlian dasar ilmu komunikasi (penulis menyebutnya kemampuan
menulis, public speaking, multimedia, dan event management), juga harus seiring
dan sejalan dengan kebutuhan dari new media.
Atau dalam istilah lain yang
dipopulerkan Indra Utoyo dalam buku Silicon Valley Mindset (Gramedia Pustaka
Utama, 2016), haruslah beriringan dengan peradaban ekonomi konseptual yang
menekankan high think, high tech, namun high touch.
Setelah era manufaktur
digantikan era informasi, kini adalah saatnya era yang tak selalu bertumpu pada
irisan antara padat modal dan padat kerja. Inilah era yang penuh usungan akan
nilai-nilai ide, konsep, kreativitas, dan inovasi.
Selamat datang di era ekonomi
kreatif (ekraf), wahai lulusan ilmu komunikasi! Sebuah zaman dimana peluang
terlihat sempit pada bidang aplikasi ilmu konvensional, namun sangat terbuka
lebar dengan aneka peluang ilmu komunikasi penyokong ekonomi kreatif.
Inilah waktu tepat dan akurat
jika para alumni komunikasi tak selalu harus bekerja pada profesi yang itu-itu
saja: Jurnalis/humas/iklan/manajemen komunikasi.
Namun, di sisi lain, ada
ratusan hingga ribuan startup se-Indonesia yang memerlukan sentuhan skills
spesifik lulusan komunikasi. Dengan rerata pendiri berlatar teknik informatika,
mereka perlu mitra yang faham berkomunikasi ke publik.
Tak hanya itu. Merujuk data
Badan Ekonomi Kreatif Kota Bandung Agustus 2016 contohnya, peluang juga terbuka
lebar selain usaha rintisan digital tadi, juga pada bidang ekraf dengan serapan
terbesar yakni fashion sebesar 52,78%, kerajinan (16,76%), kuliner (16,16%),
desain (3,1%), dan seterusnya
Dengan barometer ekraf ini
berasal dari Barat, terutama Silicon Valley, Amerika Serikat, maka lulusan
komunikasi yang ingin kompetitif ini harus pula dilengkapi kemampuan orientasi
global dengan diawali kemampuan bahasa Inggris yang baik.
Paling aktual kita bisa lihat
merger agensi iklan dan humas terbesar tanah air, Dwi Sapta Group, dengan
agensi global asal Inggris, Dentsu Aegis Network pada pekan ini, yang memang
ditujukan dalam meluaskan pasar Dwi Sapta ke 145 negara yang sudah dikuasi
Dentsu.
Karena itu, sebagai konklusi,
ilmu komunikasi malah makin aktual dan diperlukan --sekalipun bidang ilmunya
inklusif dan dalam proses in making-- terutama untuk ranah implementasi ilmu
berbasis new media dan ekonomi kreatif. Maju terus Ilmu Komunikasi Indonesia!
Comments
Post a Comment